Tugas Malaikat Atid Adalah Mencatat Amal
Dalil Alquran yang menguatkan keberadaan malaikat Raqib dan Atid
Di dalam Alquran, Allah menjelaskan bahwa manusia sejatinya diikuti dan didampingi oleh para malaikat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi,
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
"Lahụ mu'aqqibātum mim baini yadaihi wa min khalfihī yaḥfaẓụnahụ min amrillāh, innallāha lā yugayyiru mā biqaumin ḥattā yugayyirụ mā bi`anfusihim, wa iżā arādallāhu biqaumin sū`an fa lā maradda lah, wa mā lahum min dụnihī miw wāl."
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. Ar-Ra’d: 11).
Secara lebih spesifik, Allah menjelaskan adanya keberadaan Raqib dan Atid yang akan mencatat segala amal perbuatan manusia. Hal ini tertuang dalam Surah Qaf, yakni,
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18)
"Iż yatalaqqal-mutalaqqiyāni 'anil-yamīni wa 'anisy-syimāli qa'īd. Mā yalfiẓu ming qaulin illā ladaihi raqībun 'atīd."
Artinya: “(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaf, [26]:17–18).
Firman Allah lainnya adalah Surah Al-Infithar yang berbunyi,
(12) وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ (10) كِرَامًا كَاتِبِينَ (11) يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
"Wa inna 'alaikum laḥāfiẓīn. Kirāmang kātibīn. Ya'lamụna mā taf'alụn."
Artinya: “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Infithar: 10-12).
Catatan amal perbuatan manusia tersebut bukan hanya sebagai tulisan semata, Ma. Nantinya di hari akhir, setiap catatan akan dikembalikan kepada para pemilknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang bunyinya,
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا ۚ أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
"Yauma yab'aṡuhumullāhu jamī'an fa yunabbi`uhum bimā 'amilụ, aḥṣāhullāhu wa nasụh, wallāhu 'alā kulli syai`in syahīd."
Artinya: “Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu” (QS. Al-Mujadilah, [28]:6).
Kemampuan dan Sifat Malaikat
Malaikat yang diabadikan dalam Al-Quran menunjukkan bahwa setiap malaikat mempunyai posisi dan kedudukan masing-masing. Posisi dan kedudukan tersebut bertingkat-tingkat sesuai dengan tugas dan tanggung jawab malaikat. Demikian juga dengan kekuatan yang dimiliki setiap masing-masing, kekuatan tersebut diposisikan dalam satu kedudukannya di sisi Allah, mereka mempunyai posisi yang berbeda-beda.
Selain itu, dalam Al-Qur’an juga dinyatakan adanya dua kemampuan secara umum yang dimiliki oleh masing-masing malaikat. Kemampuan secara fisik merupakan kemampuan yang berada di luar substansi malaikat dan hanya berkaitan dengan masalah potensi-potensi malaikat yang bersifat personal.
Kemampuan lain yang dimiliki adalah kemampuan untuk berpindah dan bergerak secara cepat. Kemampuan ini tidak dapat dipastikan dengan satu hitungan waktu. Bahkan, kecepatan gerak malaikat tidak dapat diukur dengan teknologi canggih sekalipun. Manusia dalam hal ini hanya dapat memprediksikan kecepatan malaikat melalui hitungan waktu yang ada di dunia.
Orang hanya mengetahui bahwa karena malaikat adalah makhluk yang tercipta dari cahaya maka logikanya kecepatan malaikat dihitung dengan kecepatan cahaya. Sedangkan kemampuan malaikat yang bersifat non fisik yaitu suatu kemampuan atau sifat malaikat yang penting, kemampuan ini berkaitan dengan substansi fungsional malaikat.
Rekomendasi Buku & Artikel Terkait
Penulis: Rosyda Fauziyah
Ibadah para malaikat
Pada dasarnya diciptakannya malaikat oleh Allah SWT sama halnya dengan manusia dan jin, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Apabila para malaikat beribadah dengan menjalankan perintah Allah secara terus-menerus dan tidak ada unsur pembangkangan maka manusia dan jin dapat melakukan kesalahan dalam beribadah.
Para malaikat yang tidak pernah bosan-bosannya untuk bertasbih siang dan malam, mengindikasikan bahwa bertasbihnya malaikat merupakan bentuk ketaatan dan kepatuhan dalam melaksanakan perintah Allah tanpa adanya sedikit perkembangan.
Malaikat Mencatat Segala Amal dengan Adil
Masih dari buku 'Aalam al-Malaa'ikah al-Abraar & Aalam al-Jinn wa asy-Syayaathiin, Umar Sulaiman al-Asyqar menjelaskan bahwa Allah SWT menunjuk dua malaikat yang selalu hadir dan tidak pernah meninggalkan manusia. Keduanya bertugas mencatat seluruh perbuataan hingga perkataan manusia. Mereka ini yang dimaksud dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-Infithar ayat 10-12.
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya meriwayatkan dari Hasan al-Bashri, bahwa ia membaca ayat, "(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya). Yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri." (QS Qaf: 17)
Kemudian Hasan berkata, "Wahai manusia, catatan telah dibentangkan untukmu dan kepadamu ditugaskan dua malaikat. Yang satu di sebelah kananmu dan yang lain di sebelah kirimu. Malaikat yang ada di sebelah kananmu (ditugaskan) mencatat amal kebaikan. Sementara itu, malaikat yang ada di sebelah kirimu (ditugaskan) mencatat amal keburukan. karena itu, berbuatlah semaumu, sedikit maupun banyak, hingga saat engkau mati maka ditutuplah lembaran catatanmu dna diletakkan di lehermu, bersamamu dalam kubur hingga kamu keluar dari kubur pada hari kiamat."
Hasan menambahkan, "Demi Allah, malaikat yang dijadikan sebagai pencatat amalmu itu pasti adil."
Fungsi dan Tugas Malaikat
Allah menciptakan malaikat sebagai makhluk yang terbanyak, tidak ada makhluk yang dapat mengetahui jumlah malaikat sekalipun malaikat itu sendiri kecuali Allah sebagai penciptanya. Maka untuk mengetahuinya sebagai bentuk keimanan bagi setia muslim, Islam memberikan suatu nama dan tugas bagi masing-masing mereka yang mewakili dari sekian banyak malaikat dengan jumlah malaikat yang wajib diimani.
Malaikat-malaikat tersebut secara fungsional mewakili seluruh malaikat yang ada dan berkaitan langsung dengan eksistensi alam pada umumnya dan manusia pada khususnya.
Malaikat Jibril merupakan malaikat atau duta-Nya yang terpercaya. Jibril sebagai agen wahyu Allah dan utusan yang paling dipercaya serta mempunyai kedudukan tinggi. Dengan demikian, semenjak diutusnya nabi pertama sampai nabi terakhir proses pemberian wahyu selalu melewati malaikat Jibril.
Malaikat jibril adalah penghulu para malaikat, ia pemimpin bagi seluruh malaikat dan ia malaikat Allah yang agung dan paling kuat, yang sangat ditaati dalam alam malaikat. Malaikat Jibril bertugas untuk memelihara api serta mematangkan buah-buahan, dan sebagai penguasa angin serta bala tentaranya.
Malaikat Mikail bertugas mengatur serta menguasai tetesan air hujan dan sesuatu yang disebabkan dari tetesan air seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, dan ekosistem lain. Memang benar bahwa dari air tersebut muncul sebuah kehidupan dan dari kehidupan tersebut maka malaikat Mikail bertindak sebagai malaikat yang mengatur rezekinya.
Malaikat Israfil bertugas sebagai peniup sangkakala sebanyak dua kali. Tiupan pertama untuk mematikan semua makhluk baik di langit maupun di bumi, sedangkan tiupan kedua untuk menghidupkan kembali semua makhluk.
Sangkakala merupakan alat yang ditiup oleh malaikat Israfil menyerupai terompet kelak menjelang dimulainya kehidupan baru, yaitu awal dimulainya kehidupan akhirat.
Malaikat Izrail bertugas untuk menentukan masa berakhirnya sesuatu yang ada di dunia ini, baik di langit maupun di bumi. Pencabutan nyawa orang mu’min dengan lemah lembut sebagaimana kebalikan dari kondisi orang-orang kafir.
Malaikat penjaga disebut juga al-mu’aqqibat. Bertugas menjaga manusia di saat siang dan malam, di saat manusia diam dan bergerak, dan di segala kondisi manusia. Mereka menjaga manusia dari depan maupun belakang, dari binatang buas serta dari gangguan jin dan setan.
Allah mengutus para malaikat penjaga kepada manusia sebagai bentuk sifat rahman Allah kepada manusia. Sifat rahman tersebut merupakan sifat yang diberikan kepada setiap manusia tanpa membedakan muslim atau tidak. Tidak ada seorangpun yang dapat menjaga manusia setiap saat, baik di waktu malam maupun siang dalam kondisi apapun, kecuali hanya Allah SWT.
Dalam Islam, malaikat Ridwan dikenal sebagai malaikat yang ramah dan lemah lembut serta mempunyai kasih sayang yang tinggi. Ia bertugas mengurus surga yang luasnya antara langit dan bumi, kemudian melayani orang-orang yang masuk ke dalamnya. Ia juga mempunyai pembantu-pembantu dalam tugasnya.
Malaikat penjaga surga selalu mengucapkan salam kepada orang-orang yang masuk ke dalamnya sebagai tanda penghormatan bagi mereka yang telah bersabar menghadapi semua ujian dan cobaan ketika hidup di dunia.
Malaikat Malik bertugas menjaga neraka, ia juga mempunyai pembantu-pembantu dalam menjaga para penghuni neraka. Penjaga tersebut ada sembilan belas malaikat penjaga, namun tidak dijelaskan secara konkrit penafsiran angka sembilan belas tersebut, apakah angka yang mempunyai arti tidak terbatas, sehingga penafsiran sembilan belas malaikat mempunyai jumlah yang tak terbatas bagi para penjaga neraka.
Malaikat Raqib dan Malaikat Atid merupakan malaikat yang menjaga manusia dan mencatat segala amal perbuatannya selama hidup di dunia. Catatan malaikat ini sebagai bukti yang otentik bagi setiap orang kelak di akhirat. Sebagaimana malaikat-malaikat lain, malaikat Raqib dan malaikat Atid juga mempunyai pembantu malaikat-malaikat lain.
Allah menerangkan bahwa tugas yang dibebankan kepada kedua malaikat ini ialah bahwa tidak ada satu ucapanpun yang diucapkan seseorang tanpa ada disampingnya seorang malaikat (Raqib dan Atid), yang mengawasi dan selalu hadir untuk mencatat amal-amalnya yang berpahala dan amal-amalnya yang menyebabkan dosa.
Meskipun Allah mengetahui setiap perbuatan seseorang dan lebih dekat dari pada nadi seseorang tetapi Allah juga mengutus dua malaikat untuk mencatat segala ucapan dan perbuatan hamba-hambanya.
Allah telah memberikan kenikmatan kepada manusia, sehingga Allah menciptakannya dengan bentuk yang baik dan sempurna. Kemudian Allah memberikan kenikmatan kepada manusia dengan diutusnya dua malaikat penjaga yang selalu menjaga dan mencatat amal-amalnya, agar dapat memberi balasan yang sempurna.
Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir bertugas mengajukan beberapa pertanyaan kepada mayat di dalam kubur.
Penciptaan Malaikat
Tentang malaikat, dalam Al-Quran tidak diterangkan secara jelas bagaimana proses penciptaan malaikat itu terjadi, namun dalam hadis Nabi diceritakan bahwa malaikat diciptakan dari cahaya.
Tidak diketahui secara jelas bagaimana proses itu terjadi dan dari jenis cahaya apa yang mereka diciptakan, yang dapat diketahui hanyalah bahwa malaikat diciptakan terlebih dahulu sebelum Allah menciptakan manusia.
Hikmah Adanya Malaikat Pencatat Amal
Terkadang hikmah dalam peciptaan malaikat pencatat amal tersebut berada di luar nalar manusia. Hikmahnya ialah Allah SWT telah mengatur dan mengurus segala sesuatu serta mengarahkan dengan sebaik-baiknya.
Allah SWT secara khusus memperhatikan makhluk-Nya dengan mewakilkan malaikat pencatat amal meski Allah Maha Tahu dengan apa yang dilakukan. Semua ini dilakukan untuk menjelaskan kesempurnaan Allah SWT dan perhatiannya kepada manusia serta kesempurnaan penjagaan-Nya.
Setelah mengetahui tentang malaikat pencatat amal ini, diharapkan akan timbul rasa selalu diawasi oleh Allah SWT di diri kita semua serta menumbuhkan semangat untuk terus melakukan amalan baik. Jika Grameds masih mau mengetahui segala sesuatu mengenai malaikat pencatat amal, kamu bisa mengunjungi https://www.gramedia.com/ untuk mendapatkan buku-bukunya. Sebagai #SahabatTanpaBatas, Gramedia akan selalu memberikan informasi terbaik dan terbaru.
Tugas Malaikat Raqib dan Malaikat Atid
Secara lebih rinci, kita akan membahas tugas malaikat pencatat amal. Malaikat pencatat amal baik dan buruk bernama malaikat Raqib dan malaikat Atid. Malaikat Raqib ialah malaikat pencatat amal baik yang berada di pundak kanan kita, sedangkan malaikat Atid ialah malaikat pencatat amal buruk yang berada di pundak kiri kita.
Kedua malaikat ini selalu menyertai kemanapun kita pergi. Malaikat Raqib dan malaikat Atid selalu mengawasi manusia dan hadir di mana pun manusia berada. Maka malaikat Raqib dan malaikat Atid ini ada banyak jumlahnya, sebanyak manusia yang ada di dunia ini.
Malaikat Raqib dan Atid selalu mendampingi manusia dan dalam menjalankan tugasnya kedua malaikat ini menggunakan qorinnya yang ditempatkan ke setiap manusia.
Malaikat Raqib bertugas mencatat segala amal kebaikan manusia, sedangkan malaikat Atid bertugas mencatat semua amal perbuatan jahat manusia. Malaikat Raqib selalu berdampingan dengan Malaikat Atid dalam menjalankan tugasnya.
Malaikat Raqib dan Atid sangat jujur dan tidak pernah bermaksiat kepada Allah SWT, mereka mencatat dengan sangat hati-hati sehingga tidak ada satu pun amalan naik dan buruk yang lolos dari catatannya. Mereka tidak ditugaskan untuk menjatuhkan vonis kepada umat manusia, melainkan mencatat saja. Semua keputusan dikembalikan lagi kepada Allah SWT.
Contohnya, ketika kita melakukan sebuah kebaikan meskipun kecil, bahkan baru niat melakukan kebaikan saja, maka malaikat Raqib akan mencatatnya sebagai amal. Apabila kita menolong teman kita yang sedang kesulitan, menolong korban bencana, puasa sunah Senin-Kamis, sholat wajib dan sholat sunah, serta segala amalan baik lainnya meskipun hanya menyingkirkan duri dari jalan.
Namun, apabila kita beramal buruk, seperti mencuri, berbohong, sombong, meninggalkan sholat dan lain-lain, maka amalan buruk kita akan dicatat oleh malaikat Atid. Perbedaannya, apabila baru niat dan belum melakukan, maka malaikat Atid tidak akan mencatatnya.
Oleh karena itu, apapun perbuatan yang kita kerjakan ingatlah bahwa akan ada dua malaikat yang selalu mengawasi serta hadir untuk mencatat perbuatan kita sebagai manusia. Amal-amalan yang dicatat ini kelak akan dihitung, ditampakkan, dan ditimbang pada hari kiamat. Tidak hanya perbuatan yang akan dicatat amalnya, namun setiap perkataan yang kita keluarkan dan kita lakukan juga akan dicatat oleh malaikat yang mengawasi/malaikat Raqib dan malaikat yang hadir/malaikat Atid.
Tidak ada salahnya untuk melakukan sebuah kebaikan meskipun tidak ada yang melihat dan takutlah berbuat sebuah keburukan dalam senyap. Karena kita sebagai manusia tidak sendiri, ada dua malaikat yang akan terus mengawasi dan hadir mencatat amal-amal kebaikan maupun amal-amal keburukan.
Tugas Malaikat Pencatat Amal
Foto: Tugas Malaikat Pencatat Amal (Orami Photo Stock)
Meski sepele, nyatanya aktivitas online di internet juga akan menjadi amal yang akan dicatat oleh malaikat pencatat amal.
Aktivitas sosial media juga akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat.
Apakah akan termasuk pahala atau dosa, akan tergantung dengan yang telah dilakukan.
Jika yang dibagikan adalah hal yang baik, positif, apalagi bernuansa Islami, maka perbuatan itu akan dicatat sebagai amal kebaikan.
Sebaliknya, jika yang dibagikan itu adalah hal yang negatif, berita hoax, ujaran kebencian, maka itu akan dicatat sebagai amal keburukan.
Bukan hanya aktivitas di dunia maya, segala perbuatan yang dilakukan di dunia akan dicatat oleh malaikat pencatat amal.
Baik perbuatan besar atau kecil, baik atau buruk, akan tercatat dengan baik.
MALAIKAT MENCATAT SEMUA PERBUATAN MANUSIA
Oleh Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ﴿١٦﴾ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ ﴿١٧﴾ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang telah dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:16-18]
Arti Kata (Makna Mufradat) Dalam Ayat
تُوَسْوِسُ : dibisikkan. حَبْلِ الْوَرِيدِ : urat leher. يَتَلَقَّى : mencatat amal perbuatannya. الْمُتَلَقِّيَانِ : kedua malaikat. قَعِيدٌ : duduk يَلْفِظُ : terucap رَقِيبٌ : malaikat pengawas. عَتِيد : yang selalu hadir/ bersama.
Makna Ayat Secara Umum Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dialah yang menciptakan manusia, baik laki maupun perempuan, Dia Mengetahui keadaan mereka, mengetahui apa yang membuat hati mereka senang dan apa yang dibisikkan oleh hati mereka. Kedekatan-Nya dengan manusia lebih dekat daripada urat lehernya, padahal urat leher ini termasuk anggota tubuh yang paling dekat dari manusia. Yaitu urat yang berada di sekitar lubang tenggorokan. Pemberitahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini dapat memotivasi seseorang untuk murâqabah (merasa diawasi) oleh Sang Pencipta, yaitu Dzat yang mengawasi batinnya, yang dekat darinya dalam segala situasi dan kondisi. Hendaklah seseorang malu dilihat oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala jika ia mau melakukan apa yang dilarang dan meninggalkan apa yang diperintahkan. Dan sebelum seseorang mengucapkan atau melakukan kemungkaran atau meninggalkan kewajibannya, hendaklah merasa diawasi oleh malaikat yang berada di sebelah kanan dan kirinya yang siap melaksanakan tugasnya. Di sebelah kanannya adalah malaikat pencatat perkataan dan perbuatan baik, sedangkan di sebelah kirinya adalah malaikat pencatat perkataan dan perbuatan buruk. Tidak ada satu pun perkataan yang terucap, baik perkataan itu baik atau buruk melainkan ada malaikat yang senantiasa mengawasi dan hadir bersamanya untuk mencatat ucapannya tersebut.[1]
Ilmu Dan Pengetahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala Terhadap Segala Sesuatu Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ
Dan sungguh kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan hatinya,…[Qâf/50:16].
Syaikh Syinqithi rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa tidak ada yang tersembunyi bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Yang tersembunyi pun sama seperti yang nampak di sisi-Nya, dan Dia Maha Mengetahui gerak-gerik hati dan apa yang nampak.”[2]
Jadi Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui dan menyaksikan apa-apa yang tersembunyi dalam hati manusia, dan mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia di manapun ia berada, di darat, di udara maupun di laut, pada waktu malam atau pun siang, di dalam rumah atau pun di luar rumah; Semuanya sama dalam pengawasan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dia melihat di manapun manusia berada serta mengetahui apa-apa yang mereka sembunyikan.[3]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat lain :
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah sesungguhnya Allâh Maha pengampun lagi Maha penyantun. [al-Baqarah/2:235].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman pada ayat lain :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
Sesungguhnya bagi Allâh tidak ada suatupun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit. [Ali ‘Imrân/3:5]
Ayat di atas dan yang semisalnya menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu maha tahu terhadap segala sesuatu. Ini memberikan pelajaran agar kita senantiasa merasa diawasi oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap ucapan dan tingkah-laku, karena kita tidaklah terlepas dari pengawasan-Nya.
Salah seorang dari Ulama salaf berkata, “Jika kalian melakukan suatu perbuatan, maka ingatlah bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala memandang perbuatanmu; dan jika engkau berbicara, maka ingatlah pendengaran Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas pembicaraanmu; dan ketika engkau diam, maka ingatlah pengetahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas apa yang ada di dalam hatimu).[4]
Murâqabatullah (rasa diawasi dan dilihat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) ini apabila menancap kuat dalm hati seorang hamba dalam setiap gerak-geriknya, maka ini akan membentengi dia dari perbuatan maksiat, sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Allâh yakni Yûsuf q menghindar dari godaan Zulaikhah, isteri seorang raja yang cantik jelita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan dalam firman-Nya :
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ
Dan wanita (Zulaikha) yang Yûsuf tinggal di rumahnya yang menggoda Yûsuf untuk menundukkan dirinya dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:”Marilah kesini”, Yûsuf berkata: “Aku berlindung kepada Allâh”. [Yûsuf/12:23].
Demikian pula diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi rahimahullah, bahwasannya ada seorang al-A’rabi (orang gurun/baduwi), ketika ia keluar dari rumahnya saat malam hari yang gelap gulita ia bertemu dengan budak perempuan, kemudian ia ingin berbuat zina dengan budak tersebut, lalu si budak perempuan pun berkata, “Celaka kamu, apa kamu tidak malu melakukan ini ? Apa kamu tidak memiliki agama yang melarangmu dari perbuatan mesum ini?” Si Baduwi pun menjawab, “Sungguh, tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang di langit saja”. Si budak perempuan menjawab, “Bukankah Sang Pencipta bintang melihat kita ?”[5]
Murâqabah inilah yang menyebabkan seseorang berbuat jujur dalam tutur kata dan perilakunya. Murâqabah juga menjadikan seseorang melaksanakan amanat dan tidak berkhianat, berbuat adil dan tidak menzhalimi orang lain, tidak mengambil harta yang bukan haknya, baik secara sembunyi-sembunyi (korupsi) maupun terang-terangan (merampok). Jika murâqabah tersebut ada di hati setiap Muslim, niscaya dunia Islam akan menemui kejayaan, para pejabat tidak korupsi, bahkan menyisihkan harta mereka untuk fakir miskin serta menegakkan keadilan. Dengan murâqabah ini, para pedagang pun tidak mengurangi timbangan, tempat-tempat kemaksiatan pun akan gulung tikar dengan sendirinya, pencuri, perampok, PSK, pengedar dan konsumen narkoba akan meninggalkan profesi mereka, dengan tanpa adanya pemaksaan atas diri mereka.
Ada satu pertanyaan, jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati seorang hamba, apakah setiap suara hati yang mengajak kepada kemungkaran akan dicatat sebagai kemaksiatan dan dosa ?
Sebagai jawaban dari pertanyaan ini adalah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ يَتَكَلَّمُوا، أَوْ يَعْمَلُوا بِهِ
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umatku dari bisikan jelek jiwanya selagi ia tidak mengatakannya atau melakukannya. (HR Bukhâri dan Muslim).[6]
Jadi, bisikan hati atau suara hati yang mungkar atau mengajak kepada kemungkaran tidak dicatat sebagai dosa, selagi hal itu tidak diungkapkan dengan ucapan atau diwujudkan dalam perbuatan.
Penafsiran Kedekatan Allâh Subhanahu wa Ta’ala Selanjutnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. [Qâf/50:16].
Sepotong ayat di atas, jika dipahami secara zhahir lafadznya (tekstual) memberikan pemahaman bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya. Pemahaman seperti ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada dalam diri manusia, sehingga ia tidak dapat membedakan antara si makhluk dengan sang Khaliq, sampai-sampai ada yang mengucapkan kalimat tahlîl dengan mengatakan “lâ ilâha illâ ana” (tidak ada tuhan kecuali aku), dengan beranggapan bahwa Sang Khaliq ada dalam dirinya. Pemahaman seperti ini tidak benar, dan Maha Suci Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari pemahaman seperti ini; Karena di samping menyelisihi pemahaman para Ulama, pemahaman ini juga memberi makna bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatu dengan semua orang, baik yang shalih, kafir maupun fasiq, Maha Tinggi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari yang demikian itu…! Pemahaman ini juga menyelisihi ayat-ayat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di atas ‘Arsy-Nya, seperti disebutkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Dzat Yang Maha Pengasih bersemayam di atas Arsy-Nya. [Thahâ/20:5].
Pada ayat yang lain Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, [al-A’râf/7:54].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya untuk mengatur segala urusan…[Yûnus/10:3].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى
“Allâh-lah yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai batas waktu yang ditentukan…[ar-Ra’d/13:2].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya [al-Furqân/25:59].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di atas ‘Arsy-Nya, tidak menyatu dalam diri manusia.
Syaikhul-Islam mengatakan, “Adapun orang yang beranggapan bahwa kedekatan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat di atas adalah kedekatan Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka pemahaman yang seperti ini adalah sangat lemah, karena menurut mereka Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di mana mana. Kalaulah Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu ada di mana-mana, maka Ia dekat dengan segala sesuatu. Ia juga dekat dari seluruh anggota tubuh manusia; jika demikian, maka pengkhususan pada ayat di atas bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya menjadi tidak ada artinya.”[7]
Lantas, Bagaimanakah Penafsiran Para Ulama Terhadap Ayat Diatas ? Para Ulama, dalam menafsirkan ayat di atas, mereka berbeda pendapat.
Pendapat kedua inilah yang râjih (kuat) karena memiliki argumentasi yang kuat pula, diantaranya:
Pertama. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengikat potongan ayat di atas dengan Zharaf zaman (keterangan waktu) yang terletak pada ayat berikutnya, yakni :
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. [Qâf/50:17].
Hal itu memberikan makna, yang dimaksud dengan kedekatan Kami pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat-malaikat-Nya, dan tidak cocok kalau diartikan dengan kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla atau kedekatan kekuasaan-Nya, karena kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla dan kekuasaan-Nya terhadap makhluk-Nya itu setiap saat dan tidak terikat dengan waktu tertentu. Dan andaikata diartikan dengan kedekatan ilmu atau kekuasaan, maka tidak ada artinya ikatan dzaraf zaman tersebut.[11]
Kedua. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan dengan kata jamak نحن (Kami). Hal ini, jika disebutkan di dalam ayat-ayat al-Qur’ân, maka maknanya adalah Allâh Azza wa Jalla melakukannya dengan cara memerintahkan para malaikat-Nya untuk melaksanakannya, seperti terdapat pada banyak ayat diantaranya :
نَتْلُو عَلَيْكَ مِنْ نَبَإِ مُوسَىٰ وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman [al-Qashash/28:3].
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَٰذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum kami mewahyukannya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. [Yûsuf/12:3].
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ ﴿١٧﴾ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami selesai membacanya, maka ikutilah bacaannya. [al-Qiyâmah/75:17-18].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan tersebut adalah malaikat-malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas perintah-Nya.[12]
Ketiga. Penggunaan uslûb (gaya bahasa) semacam ini sudah tidak asing lagi dalam Bahasa Arab. Demikian ini sering digunakan oleh para pemimpin dan pembesar Arab, yakni menyandarkan perbuatan para prajurit kepada mereka, para pemimpin; yang perbuatan itu dilakukan atas dasar perintah dari pemimpin mereka. Oleh karena itu sebagian pemimpin mengatakan “kami telah menghabisi dan mengalahkan musuh”. Demikian pula para ahli sejarah mengatakan “Raja Fulan telah menaklukkan negara ini dan itu”, padahal yang melakukan adalah pasukan dan bala tentaranya atas perintahnya. Dan termasuk gaya bahasa yang seperti ini pula pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, yakni dengan memakai kata jamak yang menunjukkan bahwa yang melakukan hal itu adalah malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas dasar perintah-Nya.[13]
Dan masih banyak lagi argumentasi dari pendapat kedua tersebut. Jadi, maksud kedekatan pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Perkataan Dan Perbuatan Manusia Dicatat Oleh Malaikat Selanjutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:18].
ada ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa ucapan manusia itu tidak luput dari catatan dua malaikat-Nya yang ditugaskan sebagai pencatat amal. Yang satu mencatat amalan baik, dan yang lainnya mencatat amalan buruk. Hal ini dapat menjadi motivasi bagi setiap hamba yang beriman untuk senantiasa merasa diawasi oleh malaikat pencatat amalan dalam setiap perkataaan dan tingkah lakunya.
Lalu apakah semua ucapan manusia itu dicatat oleh malaikat sampai yang mubah pula, misal seperti “Saya sudah makan, minum , pergi , datang”, dan lain-lain, atau hanya yang baik dan buruk saja?
Dalam hal ini, para Ulama berselisih pendapat terbagi dalam dua pendapat.
Untuk apa semua amalan manusia itu dicatat ? Bukankah Allâh Azza wa Jalla mengetahui semuanya ?
Jawabannya, betul, Allâh Azza wa Jalla tidak membutuhkan hal itu, karena Dia mengetahui segalanya, tidak ada yang tersembunyi sesuatupun dari-Nya. Adapun Dia memerintahkan malaikat-Nya untuk mencatat amalan manusia adalah karena ada hikmah lain di balik itu; misalnya untuk menegakkan hujjah atau sebagai bukti atas manusia kelak pada hari kiamat bahwa ia pernah berkata dan berbuat demikian dan demikian, sehingga manusia tidak dapat mengingkarinya karena ada bukti catatan amalnya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا ﴿١٣﴾ اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab (catatan amal) yang dijumpainya terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini menghitung amalanmu sendiri”. [al-Isrâ/17:13-14].[15]
Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 805, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Muassasah ar-Risâlah – Beirut, cet. Pertama th. 1420 H/ 2000 M. [2] Adhwâ’ul Bayân fi Îdhâhil-Qur’ân bil-Qur’ân, 2/170. Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Dar al-Fikr, Lebanon, tanpa nomor cetakan, Th. 1415 H/ 1995 M. [3] Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 8/9, Ismail bin Umar Ibn Katsir, Dar Thaibah, Arab Saudi, Cet. Kedua, Th. 1420 H/ 1999 M. [4] Siyar A’lâmun-Nubalâ’, 11/485. Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Muassasah ar-Risalah-Beirut, Cet. Ketiga, Th. 1405 H/1985 M. [5] Syu’abul Îmân, 2/265, Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, Cet. Pertama, Th. 1423 H/ 2003M. [6] Sahîh Bukhâri, 8/135, Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Daar Thauqun-Najah, Cet. Ketiga, Th. 1422 H. Hadits no. 6664. Sahîh Muslim, 1/166. Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Daar Ihya’ Turats, Beirut, tanpa tahun. Hadits no. 201. [7] Syarah Hadîts al-Nuzûl, hlm. 133-134. Ahmad bin Abdul-Halim Ibn Taimiyyah, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cet. Kelima, Th. 1397 H/ 1977 M. Bit-tasharruf. [8] Mafâtihul Ghaib, Juz 28, hlm. 134. Muhammad bin Umar ar-Razi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Kedua, Th. 1420 H. Lihat Tafsir Ibn ‘Asyur (al-Tahrîr wa al-Tanwîr), 26/301. Muhammad al-Thahir bin Muhammad Ibn ‘Asyur, al-Dar al-Tunusiyah li al-Nasyr, Tunisia, tanpa cet. Th. 1964 M. Lihat al-Kasysyaf ‘an Haqâiq Ghawamidh al-Tanzîl, 4/383. Mahmud bin ‘Amr al-Zamakhsyari, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Cet. Ketiga, Th. 1407 H. Lihat Anwâr al-Tanzîl wa Asrar al-Ta’wil, 5/141. ‘Abdullah bin Umar al-Baidhawi, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Pertama, Th. 1418 H. [9]Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîl Ayil-Qur’ân, 22/342. Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Muassasah ar-Risalah, Cet. Pertama, Th. 1420 H/ 2000 M. Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân, 17/9. Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, Cet. Kedua, Th. 1384H/1964 M. [10] Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398, Ibn Katsir. [11] Mukhtashar al- Shawîiq al-Mursalah, hlm. 480, Muhammad bin Muhammad al-Mushili, Dar al-Hadis, Kairo, Cet. Pertama, Th. 1422H/2001M. [12] Majmû’ al-Fatâwâ, 5/507, Ahmad bin ‘Abdul-Halim Ibn Taimiyah, Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, Madinah Munawwarah. Cet. Th. 1416 H/ 1995 M. [13] Mukhtashar al-Shawâ-iq al-Mursalah, hlm. 494. [14] Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398. [15] Adhwâul Bayân fi Îdhâhil Qur’ân bil-Qur’ân, 7/426. Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Dar al-Fikr, Libanon, tanpa nomor cetakan, Th. 1415 H/ 1995 M.
Malaikat Pencatat Amal – Malaikat ialah salah satu makhluk Allah yang diciptakan dari cahaya. Malaikat ditugaskan oleh Allah dengan bermacam-macam tugas. Ada yang bertugas menjaga surga, menjaga neraka, dan menyampaikan rezeki kepada hamba Allah. Diantara malaikat juga ada yang bertugas menjadi pencatat amal.
Entah amal yang baik atau amal yang buruk, Allah sudah memerintah malaikat-Nya untuk selalu mengawasi gerak-gerik amalan manusia. Manusia tidak bisa lepas dari malaikat pencatat amalannya.
https://www.pexels.com/